Minggu, 29 April 2018
Materi akidah Akhlak kelas XI bab 5
BAB V
MENELADANI KISAH FATIMATUZ ZAHRA DAN UWAIS
AL-QARNI
Kompetensi
Inti (KI) :
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya
2.
Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun,
ramah lingkungan, gotong royong,
kerjasama, cinta damai, responsif dan pro
aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri
sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3.
Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesiik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah
4.
Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, bertindak secara efektif dan
kreatif, serta mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
Kompetensi Dasar (KD):
1.1 Menghayati
keutamaan sifat Fatimatuzzahra dan Uways al-Qarni
2.1 Meneladani keutamaan sifat Fatimatuzzahra
dan Uwais al-Qarni
3.1 Menganalsisis sifat-sifat utama Fatimatuzzahrah binti Rasulullah saw dan
Uwais al-Qarni
4.1 Menceritakan sifat-sifat utama Fatimatuzzahrah binti Rasulullah saw
Indikator:
1.
Siswa dapat menunjukkan sifat-sifat utama Fatimatuzzahrah binti
Rasulullah saw dan Uwais al-Qarni
2.
Siswa dapat menceritakan sifat-sifat utama Fatimatuzzahrah binti
Rasulullah saw dan Uwais Al-Qarni
A. Fatimah Az-Zahrah
1. Riwayat hidup singkat
Fatimah
Az-Zahra adalah putri Nabi Muhammad saw dan Khadijah. Ketika sudah dewasa dia
menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Dari pernikahan tersebut melahirkan Hasan dan Husein. Fatimah sangat terkenal di
dunia Islam, karena hidupnya paling dekat dan paling lama dengan Rasulullah
Saw. Rasulullah sendiri sangat menyayanginya. Dari dialah keturunan Nabi
Muhammad saw berkembang dan tersebar di hampir seluruh negeri Islam.
Fatimah
dilahirkan di Makkah pada tanggal 20 Jumadil Akhir, 18 tahun sebelum Nabi Saw.
hijrah (tahun ke-5 dari kerasulan). Dia adalah putri bungsu Rasulullah saw
setelah berturut-turut Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kulsum. Saudara laki-lakinya
yang tertua, Qasim dan Abdullah, meninggal dunia pada usia muda. Kehidupan
Fatimah dibagi ke dalam dua periode, masa kanak-kanak di Makkah dan masa remaja
serta masa dewasa di Madinah. Pada periode masa kanak-kanak di Mekah,
keluarganya hidup dalam keadaan menyedihkan, banyak tekanan dan penyiksaan,
karena pada masa itulah babak baru perjuangan Rasulullah saw pada periode
remaja dan dewasa di Madinah, sebagai putri pimpinan kota Madinah, Fatimah
tinggal di pusat kota yang paling berpengaruh. Fatimah telah memperkaya sejarah
wanita selama masa itu.
2. Teladan yang bisa diambil
Kehidupan
rumah tangga Fatimah sangatlah sederhana. Bahkan sering juga kekurangan,
sehingga beberapa kali harus menggadaikan berang-barang keperluan rumah tangga
mereka untuk membeli makanan. Sampai-sampai kerudung Fatimah pernah digadaikan
kepada Yahudi Madinah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Namun
demikian, mereka tetap saja bahagia, lestari sebagai suami istri sampai akhir
hayat.
Memang
nabi Muhammad saw sangat sayang kepada Fatimah. Sewaktu Nabi Muhammad saw sakit
keras menjelang wafatnya, Fatimah tiada henti menangis. Nabi saw memanggilnya
dan berbisik kepadanya, tangisannya makin bertambah. Kemudian Nabi saw berbisik
lagi, dan ia pun tersenyum. Kemudian hal tersebut ditanyakan kepada Fatimah.
Dia manjawab bahwa dia menangis karena ayahnya memberitahukan kepadanya bahwa
tak lama lagi ayahnya akan meninggal, tetapi kemudian ia tersenyum karena,
seperti kata ayahnya, dialah yang pertama yang akan memjumpainya di akhirat
nanti.
Fatimah
adalah seorang wanita yang agung, seorang ahli hukum Islam. Dari Fatimah inilah
banyak diriwayatkan hadis Nabi saw. Dialah tokoh perempuan dalam bidang
kemasyarakatan. Orangnya sangat sabar dan bersahaja, akhlaknya sangat mulia.
Fatimah
Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang tidak hanya merupakan putri dari
Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah satu orang kepercayaan ayahnya pada
masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki kepribadian yang sabar dan penyayang
karena tidak pernah melihat atau dilihat lelaki yang bukan mahromnya.
Rasullullah sering sekali menyebutkan nama Fatimah, salah satunya adalah ketika
Rasulullah pernah berkata: “Fatimah merupakan bidadari yang menyerupai
manusia”.
Demikian
kisah Fatimah Az-Zahrah, seorang wanita yang selalu mendukung perjuangan
ayahnya dan suaminya. Walaupun anak seorang yang sangat disegani namun Fatimah
tidak pernah sombong. Ia adalah seorang istri yang sangat sederhana
hidupnya tanpa banyak menuntut pada
suaminya. Fatimah sangat patut kita jadikan jadikan teladan utama.
Dari
pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra memiliki empat anak,
dua putra yaitu Hasan dan Husain dan dua putri yaitu Zainab dan Ummu Kulsum.
Hasan dan Husain sangat disayangi oleh Rasulullah saw. Sebenarnya ada satu lagi
anak Fatimah Az-Zahra bernama Muhsin, tetapi Muhsin meninggal dunia ketika
masih kecil.
B. Uwais al-Qarni
1. Riwayat hidup singkat
Uwais
al-Qarni adalah salah seorang penduduk Yaman, daerah Qarn dari kabilah Murad.
Ayahnya sudah tiada dan dia hidup bersama ibunya dan sangat berbakti kepadanya.
Uwais al-Qarni pernah mengidap penyakit kusta, lau berdoa kepada Allah SWT lalu
diberi kesembuhan, tetapi masih ada
bekas sebesar dirham di kedua lengannya. Menurut keterangan, Nabi Muhammad saw
mengatakan bahwa Uwais al-Qarni adalah pemimpin para tabi’in.
Suatu
ketika Nabi Muhammad saw berkata kepada Umar bin Khattab, “Jika kamu bisa
meminta kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah SWT untukmu, maka
lakukanlah!” Ketika Umar bin Khattab telah menjadi Amirul Mukminin, dia
bertanya kepada para jamaah haji dari Yaman di Baitullah pada musim haji,
“Apakah di antara warga kalian ada yang bernama Uwais al-Qarni?” Mereka
menjawab, “ada”.
Umar
kemudian bertanya lagi, “Bagaimana keadaannya ketika kalian meninggalkannya?”
Mereka menjawab tanpa mengetahui derajat Uwais, “Kami meninggalkannya dalam
keadaan miskin harta benda dan pakaiannya usang.” Umar bin Khattab berkata
kepada mereka, “Celakalah kalian. Sungguh, Rasulullah saw pernah bercerita
tentangnya. Kalau dia bisa memohonkan ampun untuk kalian, lakukanlah!” Dan
setiap tahun Umar bin Khattab selalu menanti Uwais. Dan kebetulan suatu ketika
dia datang bersama jamaah haji dari Yaman, lalu Umar menemuinya. Dia hendak
memastikannya terlebih dahulu, makanya dia bertanya, “Siapa namamu?” Orang itu
menjawab, “namaku Uwais.”
Umar
melanjutkan pertanyaannya, “Di Yaman daerah mana?” Dia menjawab, “Dari Qarn.”
Umar bertanya lagi, “dari kabilah mana?” Dia menjawab, “Dari kabilah Murad.”
Umar bin Khattab bertanya lagi, “Bagaimana ayahmu?” “Ayahku telah meninggal
dunia. Saya hidup bersama ibuku,” jawabnya. Umar melanjutkan, “Bagaimana
keadaanmu bersama ibumu?” Uwais berkata, “Saya berharap dapat berbakti
kepadanya.” Lalu Umar bertanya lagi,
“Apakah engkau pernah sakit sebelumnya?”
Uwais menjawab, benar, saya pernah terkena penyakit kusta, lalu saya
berdoa kepada Allah SWT dan saya diberi kesembuhan.” Umar bertanya lagi,
“Apakah masih ada bekas dari penyakit tersebut?” Dia menjawab, “di lenganku
masih ada bekas sebesar dirham.” Dia memperlihatkan lengannya kepada Umar.
Ketika Umar binn Khattab melihat hal tersebut, maka dia langsung memeluknya
seraya berkata, “Engkaulah orang yang diceritakan oleh Rasulullah saw.
Mohonkanlah ampun kepada Allah SWT untukku!” Uwais berkata, “Masa saya
memohonkan ampun untukmu wahai Amirul Mukminin?” Umar bin Khattab menjawab,
“ya, benar.” Umar radhiyallahu ‘anhu meminta dengan terus mendesak kepadanya
sehingga Uwais memohonkan ampun untuknya. Selanjutnya Umar radhiyallahu ‘anhu
bertanya kepadanya mengenai ke mana arah tujuannya setelah musim haji. Dia
menjawab, “Saya akan pergi ke kabilah Murad dari penduduk Yaman ke Irak.” Umar
berkata, “Saya akan kirim surat ke walikota Irak mengenai kamu?”
Uwais
berkata, “Saya bersumpah kepada Anda wahai Amriul Mukminin agar engkau tidak
melakukannya. Biarkanlah saya berjalan di tengah lalu lalang banyak orang tanpa
dipedulikan orang.”
2. Teladan yang bisa diambil
Uwais
al-Qarni sosok pribadi yang sangat sederhana. Hidupnya tidak bergelimang dengan
harta. Ujian hidup yang dialami diterima dengan ikhlas dengan tetap tidak
meninggalkan usaha dan kerja keras untuk keluar dari ujian itu. Termasuk ketika
diuji penyakit kusta oleh Allah SWT. Uwais al-Qarni juga igur yang sangat
hormat dan taat kepada ibunya. Sebagian hidupnya digunakan untuk merawat dan
mendampingi ibu yang sangat disayangi. Walaupun ia mendapat perhatian sang
penguasa waktu itu yaitu Umar bin Khattab, tetapi Uwais al-Qarni tidak
memanfaatkan fasilitas dan kesempatan tersebut untuk bersenang-senang. Justru
Uwais al-Qarni tidak mau diperlakukan istimewa, justru sebaliknya dia ingin
diperlakukan sama seperti rakyat yang lain.
Materi Akidah Akhlak XI Bab 4
BAB IV
MEMBIASAKAN AKHLAK TERPUJI
Kompetensi
Inti (KI) :
1.
Menghayati dan mengamalkan ajaran
agama yang dianutnya
2.
Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli, santun,
ramah lingkungan, gotong royong,
kerjasama, cinta damai, responsif dan pro
aktif) dan menunjukan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai
permasalahan bangsa dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial
dan alam serta dalam menempatkan diri
sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3.
Memahami dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesiik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan masalah
4.
Mengolah, menalar, dan menyaji
dalam ranah konkret dan ranah abstrak
terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara
mandiri, bertindak secara efektif dan
kreatif, serta mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.
Kompetensi
Dasar (KD):
1.1 Menghayati akhlak (adab) yang baik dalam
berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan menerima tamu
2.1 Membiasakan akhlak (adab) yang baik dalam
berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu
3.1 Memahami akhlak (adab) berpakaian, berhias,
perjalanan, bertamu dan menerima tamu
a. Mensimulasikan akhlak (adab) berpakaian,
berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu
Indikator:
1. Siswa dapat menjelaskan akhlak (adab)
berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu
2. Siswa dapat menunjukkan akhlak (adab)
berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan menerima tamu
A. Akhlak Berpakaian
1. Pengertian Pakaian
Pakaian menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah barang apa yang dipakai (baju, celana dan sebagainya). Istilah
pakaian kemudian dipersamakan dengan busana. Istilah busana berasal dari bahasa
sanskerta yaitu bhusana yang mempunyai konotasi pakaian yang bagus atau indah
yaitu pakaian yang serasi, harmonis, selaras, enak di pandang, nyaman
melihatnya, cocok dengan pemakai serta sesuai dengan kesempatan. Pakaian
merupakan busana pokok yang digunakan untuk menutupi bagian-bagian tubuh.
2. Fungsi Pakaian
a. Penutup Aurat
Kata aurat dalam Bahasa Arab berasal dari kata:1) Awira yang
artinya hilang perasaan, hilang cahaya atau lenyap penglihatan (untuk mata).
Pada umumnya kata Awira ini member arti
yang tidak baik, memalukan bahkan mengecewakan. Kalau sekiranya kata ini
menjadi sumber dari kata ‘aurat’, maka berarti bahwa itu adalah sesuatu yang
mengecewakan bahkan tidak dipandang baik. 2) Aara yang berarti menutup. Artinya aurat itu harus
ditutup sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang. 3). A’wara yang
artinya mencemarkan bila terlihat atau sesuatu akan mencemarkan bila tampak.
Secara bahasa, aurat berati malu, aib dan buruk. Jadi pengertian aurat secara
kebahasaan adalah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang bila terbuka atau
tampak akan menimbulkan rasa malu, aib, dan keburukan-keburukan lainnya.
Dari ketiga sumber kata inilah lahir kata atau kalimat
aurat yang diartikan secara luasnya adalah sesuatu anggota tubuh yang adanya
pada manusia yang harus ditutupi dan dijaga sedemikian rupa agar tidak
menimbulkan kekecewaan dan rasa maluDalam konteks hukum agama,
aurat dipahami sebagai anggota
badan tertentu yang
tidak boleh dilihat kecuali oleh orang-orang tertentu. Ide dasar aurat
adalah tertutup atau tidak dilihat walau oleh yang bersangkutan sendiri.
Beberapa hadis menerangkan hal tersebut secara
rinci: “Hindarilah telanjang, karena ada
(malaikat) yang selalu bersama kamu, yang tidak pernah berpisah denganmu
kecuali ketika ke kamar belakang (wc) dan ketika seseorang berhubungan seks
dengan istrinya. Maka malulah kepada mereka dan hormatilah mereka.” (HR.
At-Tirmidzi). Hadis lain menyatakan: “Apabila salah seorang dari kamu
berhubungan seks dengan pasangannya, jangan sekali-kali keduannya telanjang
bagaikan telanjangnya binatang.” (HR Ibnu Majah).
b. Perhiasan
Sebagian pakar
menjelaskan bahwa sesuatu yang elok adalah yang menghasilkan
kebebasan dan keserasian. Pakaian
yang elok adalah
yang memberi kebebasan kepada pemakainya untuk bergerak.
Salah satu unsur mutlak keindahan adalah kebersihan.
Itulah sebabnya mengapa Nabi
Muhammad saw senang memakai pakaian putih, bukan
saja karena warna ini lebih sesuai dengan iklim Jazirah Arabia yang
panas, melainkan juga karena warna putih segera
menampakkan kotoran, sehingga pemakainya akan segera terdorong
untuk mengenakan pakaian lain (yang bersih). Berhias adalah
naluri manusia. Seorang sahabat Nabi pernah bertanya kepada
Nabi, “Seseorang yang senang pakaiannya indah dan alas kakinya indah (Apakah
termasuk keangkuhan?”) Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah indah, senang kepada
keindahan, keangkuhan adalah menolak kebenaran dan menghina orang lain.”
Al-Qur'an setelah memerintahkan agar
memakai pakaian-pakaian yang indah ketika berkunjung ke masjid.
c. Melindungi dari Bencana
Ditemukan dalam Al-Qur'an ayat yang menjelaskan fungsi
pakaian, yakni fungsi pemeliharaan terhadap bencana, dan dari sengatan panas dan dingin, QS. An Nahl [16]:81
“dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa
yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung,
dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju
besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan
nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya). (QS. An Nahl [16]: 81)
d. Penunjuk Identitas Identitas
kepribadian
sesuatu adalah yang
menggambarkan eksistensinya
sekaligus membedakannya dari
yang lain. Rasululla saw amat menekankan
pentingnya penampilan identitas muslim, antara lain melalui
pakaian. Karena itu, Rasulullah melarang lelaki yang memakai pakaian perempuan
dan perempuan yang memakai pakaian lelaki (HR. Abu Daud). Contoh, Jilbab dapat
menjadi identitas kepada pemakainya sebagai muslimah. Fungsi identitas pakaian ini disyaratkan oleh Al-Qur'an surat Al Ahzab [33]: 59 yang menugaskan
Nabi, agar menyampaikan kepada istri-istrinya, anak-anak perempuannya, serta
wanita-wanita mukmin agar mereka mengulurkan jilbab mereka. “ Hai Nabi,
Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteriisteri orang
mukmin: «Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka». yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab
[33]: 59)
3. Batas Aurat
Ulama
bersepakat menyangkut kewajiban berpakaian sehingga aurat tertutup, hanya saja mereka
berbeda pendapat tentang batas
aurat itu. Bagian
mana dari tubuh manusia yang harus selalu ditutup.
Salah satu sebab
perbedaan ini adalah perbedaan
penafsiran mereka tentang firman Allah dalam QS An-Nur [24]:31
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
«Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau puteraputera saudara lelaki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
a. Batas Aurat Laki-laki
Imam Malik,
Syai’i, dan Abu Hanifah berpendapat bahwa lelaki wajib menutup seluruh
badannya dari pusar
hingga lututnya, meskipun ada
juga yang berpendapat bahwa yang
wajib ditutup dari anggota tubuh lelaki hanya yang terdapat antara pusat dan
lutut yaitu alat kelamin dan pantat.
b. Batas Aurat Perempuan
Menurut
sebagian besar ulama
berkewajiban menutup seluruh angggota tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya, sedangkan Abu Hanifah sedikit
lebih longgar, karena menambahkan bahwa
selain muka dan telapak tangan, kaki wanita juga boleh terbuka. Tetapi Abu Bakar bin
Abdurrahman dan Imam Ahmad berpendapat bahwa seluruh anggota badan
perempuan harus ditutup. Hal yang
demikian ini sesuai dengan apa
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma’ binti Abu Bakar
r.a. bertemu dengan Rasulullah
saw, ketika itu Asma’ sedang mengenakan pakaian tipis, lalu Rasulullah memalingkan muka seraya bersabda: “Wahai
Asma’! Sesungguhnya, jika seorang wanita sudah sampai masa haid, maka tidak
layak lagi bagi dirinya menampakkannya, kecuali ini..(beliau mengisyaratkan
pada tangan dan mukanya).
4. Adab Berpakaian
a. Disunnatkan memakai pakaian pantas, serasi, rapih dan bersih.
b. Rasulullah bersabda kepada salah seorang shahabatnya di saat beliau
melihatnya mengenakan pakaian jelek : “Apabila Allah mengaruniakan kepadamu
harta, maka tampakkanlah bekas ni`mat dan kemurahan-Nya itu pada dirimu. (HR.
Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
c. Pakaian harus menutup aurat, yaitu longgar tidak membentuk lekuk tubuh
dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada di baliknya.
d. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau
sebaliknya. dari Ibnu Abbas ra, menuturkan: “Rasulullah melaknat (mengutuk)
kaum lakilaki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum
pria.” (HR. Bukhari).
e. Pakaian tidak merupakan pakaian untuk ketenaran atau niat kesombongan.
Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang mengenakan pakaian ketenaran di dunia
niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat.” ( HR.
Ahmad).
f. Pakaian tidak boleh ada gambar makhluk yang bernyawa atau gambar salib.
dari Aisyah Radhiallaahu ‘anha menyatakan bahwasanya beliau berkata:
“Rasulullah tidak pernah membiarkan pakaian yang ada gambar salibnya melainkan
Nabi menghapusnya”. (HR. Bukhari dan
Ahmad).
g. Pakaian laki-laki tidak boleh panjang melebihi kedua mata kaki
Rasulullah bersabda : “Apa yang berada di bawah kedua mata kaki dari kain itu
di dalam neraka” (HR. Al-Bukhari).
h. Disunnatkan mendahulukan bagian yang kanan di dalam berpakaian atau lainnya
Aisyah ra, berkata: “Rasulullah suka bertayammun (memulai dengan yang kanan) di
dalam segala perihalnya, ketika memakai sandal, menyisir rambut dan bersuci’.
(Muttafaq’Alaih)
i.
Disunnatkan berdo’a ketika mengenakan
pakaian; “Segala puji bagi Allah yang
telah menutupi aku dengan pakaian ini dan mengaruniakannya kepada-ku tanpa daya
dan kekuatan dariku”. (HR. Abu Daud) j. Disunnatkan memakai pakaian berwarna
putih Rasul Bersabda: “Pakaialah yang berwarna putih dari pakaianmu, karena
yang putih itulah yang terbaik dari pakaianmu”
5. Membiasakan Akhlak Berpakaian
Islam memiliki etika berbusana yang telah
diatur oleh Allah SWT di dalam Al-Qur'an dan Hadis. Dalam Islam, kita sebagai
umat Allah tidak diperbolehkan memakai pakaian yang melanggar aturan Islam, tetap
harus mengikuti aturan tersebut. Zaman
semakin berkembang bukan berarti kita harus mengikuti perkembangan yang ada
secara keseluruhan. Pakaian merupakan pengaruh yang besar bagi perkembangan
zaman. Karena, akibat dari perkembangan zaman yang datangnya dari dunia Barat,
sangat mempengaruhi mode pakaian kita sebagai umat muslim. Maka dari itu
biasakanlah berpakaian sesuai syari’at Islam, agar tidak terpengaruh oleh
pengaruh-pengaruh negatif, yang membuat kita lupa akan Allah serta aturan-Nya.
“Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‹auratnya. Sesungguhnya ia dan
pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat
mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-A’rāf [7]: 27)
Dalam pandangan Islam, pakaian terbagi
menjadi 2 bentuk pertama pakaian untuk menutupi aurat tubuh sebagai realisasi
dari perintah Allah bagi wanita seluruh tubuhnya kecuali tangan dan wajah, dan
bagi pria menutup aurat dibawah lutut dan diatas pusar. Batasan pakaian yang
telah ditetapkan oleh Allah ini melahirkan kebudayaan yang sopan dan enak
dilihat oleh kita dan kita pun merasa aman dan tenang karena pakaian kita yang
memenuhi kewajaran pikiran manusia. Sedangkan yang kedua, pakaian merupakan
perhiasan yang menyatakan identitas diri sebagai konsekuensi perkembangan
peradaban manusia.
Busana Muslimah haruslah mempunyai kriteria sebagai
berikut:
a. Tidak jarang dan ketat
b. Tidak menyerupai laki-laki
c. Tidak menyerupai busana khusus non-muslim
d. Pantas dan sederhana
Jadi, mengenahi bentuk model pakaian, Islam tidak memberi
batasan, karena hal ini berkaitan dengan budaya setempat. Pakaian orang arab
berbeda dengan pakaian budaya orang Indonesia. Islam bukanlah Arab. Tidak
selalu yang menggunakan identitas atau bahasa Arab itu pasti islami. Oleh
karena itu kita diperkenankan memakai pakaian dengan model apapun selama
pakaian tersebut memenuhi persyaratan menutup aurot dan persyaratan tersebut
diatas.
B. Akhlak Berhias
1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
berhias diartikan sebagai usaha memperelok diri dengan pakaian ataupun lainnya
yang indah, berdandan dengan dandanan yang indah dan menarik. Berhias tidak
dilarang dalam ajaran Islam, karena ia
adalah naluri manusiawi. Adapun
yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, yakni mencakup segala
macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan berahi kepada selain
suami istri. Kata tabarruj
terambil dari kata al buruj yakni
bangunan benteng atau istana yang menjulang tinggi. Jadi wanita yang
ber-tabarruj adalah wanita yang menampakan tinggitinggi kecantikannya,
sebagaimana benteng, istana atau menara yang menjulang tinggi, dan tentu saja
menarik perhatian orang-orang yang
memandangnya. Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam dan
sudah dikenal oleh orang-orang yang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang, artinya tidak terbatas hanya
sekedar berhias, berdandan, ber-make up, memakai parfum dan sebagainya yang
biasa dilakukan oleh wanita. Bahkan lebih dari itu yaitu segala sesuatu yang mencerminkan keindahan dan kecantikan
sehingga penampilan dan gaya seorang
wanita menjadi memikat dan menarik di mata lawan jenisnya.
Al-Qur'an mempersilakan perempuan berjalan di hadapan
lelaki, tetapi diingatkannya agar
cara berjalannya jangan
sampai mengundang perhatian. Dalam bahasa Al-Qur'an disebutkan: “...dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan (QS. An Nur [24]: 31). Al-Qur'an
tidak melarang seseorang
berbicara atau bertemu dengan lawan
jenisnya, tetapi jangan
sampai sikap dan isi pembicaraan
mengundang rangsangan dan
godaan, demikian maksud irman Allah dalam QS. Al Ahzab [33]: 32,“… Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya….”\
2. Macam-macam Berhias
Dalam Islam diperintahkan untuk berhias
yang baik, bagus, dan indah sesuai dengan kemampuan masing-masing. Terutama
apabila kita akan melakukan ibadah shalat maka seyogyanya perhiasan yang kita
pakai itu haruslah baik, bersih dan indah (bukan berarti mewah), karena mewah
itu sudah memasuki wilayah berlebihan.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.” QS. Al A’raf [7]: 31,
a. Jilbab
Salah satu jenis pakaian yang dapat menutup salah satu
aurat wanita yaitu Jilbab. Jilbab beragam jenisnya. Namun demikian walaupun
banyak ragamnya dan menjadi hiasan diri pemakaianya selain menutup aurat, dari
atas kepala manusia sampai dengan dada manusia. Allah telah
memerintahkan bagi kaum wanita Mukmin, dalam ayat
di atas, untuk
menutup tempat-tempat yang biasanya terbuka
di bagian dada. Arti al khimar
itu ialah kain untuk
menutup kepala. Al Qurthubi berkata,
“Sebab turunnya ayat tersebut ialah bahwa pada masa itu kaum
wanita jika menutup kepala dengan akhmirah (kerudung), maka kerudung itu ditarik ke
belakang, sehingga dada, leher dan telinganya
tidak tertutup. Maka, Allah memerintahkan untuk menutup
bagian mukanya, yaitu dada.
Dalam riwayat Bukhari, bahwa Aisyah r.a. telah
berkata, “Mudah-mudahan wanita yang berhijrah itu dirahmati Allah.” Ketika Aisyah r.a. didatangi oleh Hafsah,
kemenakannya, anak dari saudaranya yang bernama Abdurrahman r.a. dengan memakai
kerudung (khamirah) yang tipis di bagian
lehernya, Aisyah r.a. lalu berkata, “Ini amat
tipis, tidak dapat menutupinya.”
b. Perhiasan
Nabi menganjurkan agar wanita berhias. Al-Qur'an memang tidak
merinci jenis-jenis perhiasan salah satu yang
diperselisihkan para ulama adalah
emas dan sutera
sebagai pakaian atau perhiasan lelaki. Nabi Muhammad saw
menegaskan dalam hadis bahwa sutera dan emas haram dipakai oleh kaum lelaki.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya melihat Rasullullah mengambil sutera lalu
beliau meletakkan di sebelah kanannya, dan emas diletakkannya di sebelah
kirinya, kemudian beliau bersabda, ‘Kedua hal ini haram bagi lelaki umatku” (HR
Abu Dawud dan Nasa’i). Pendapat ulama berbeda-beda tentang sebab-sebab diharamkannya
kedua hal tersebut bagi kaum lelaki,
antara lain bahwa keduanya menjadi simbol
kemewahan dan perhiasan yang berlebihan, sehingga menimbulkan ketidakwajaran kecuali bagi kaum
wanita. Selain itu ia dapat mengundang sikap angkuh, atau karena menyerupai
pakaian kaum musyrik.
c. Kosmetik
1) Wajah Dalam kitab Al-Mu’jam Al-Wasith disebutkan humrah sebagai salah
satu perhiasan wajah perempuan, humrah adalah campuran wewangian yang digunakan
perempuan untuk mengolesi wajahnya, agar indah warnanya. Selain itu seorang
pengantin perempuan pada zaman Rasulullah saw. biasa berhias dengan shufrah
yaitu wewangian berwarna kuning. Diperbolehkan pula menggunakan celak. Hal ini
sesuai dengan hadist yang diterangkan oleh Ummu Athiyah: “Kami dilarang
berkabung untuk mayat lebih dari tiga hari, kecuali atas suami selama empat
bulan sepuluh hari. Kami tidak boleh bercelak, memakai wewangian, dan memakai
pakaian yang bercelup.” (HR. Bukhari dan Muslim. Hadist tersebut menerangkan
dibolehkannya memakai celak, wewangian dan pakaian bercelup (wewangian) dalam
kondisi normal, sedangkan pada masa berkabung (ihdad) tidak dibolehkan.
2) Telapak Tangan Salah satu perhiasan tangan perempuan adalah pewarna pada
kuku (khidhab). Kebolehan hal ini dijelaskan dalam hadist Rasulullah saw dalam
peristiwa dengan seorang perempuan yang menyodorkan kitab tetapi beliau tidak
mengambilnya dan mengatakan, “Aku tidak tahu, apakah itu tangan perempuan atau
laki-laki?” kemudian perempuan itu menjawab: “Tangan perempuan” sabda Nabi:
“Jika engkau seorang perempuan, tentu engkau akan mengubah warna kukumu dengan
inai” (HR. An-Nasa’i). Perempuan diperkenankan pula memakai perhiasan tangan,
seperti cincin dan gelang.
3) Parfum Disunnatkan menggunakan farfum bagi laki-laki dan perempuan.
Penggunaan ini dikecualikan dalam keadaan berihram untuk haji ataupun umrah,
atau jika perempuan itu sedang berihdad (berkabung) atas kematian suaminya,
atau jika ia berada di suatu tempat yang ada laki-laki asing (bukan mahramnya),
karena larangannya shahih.
4) Tatto Wasym (tatto) ialah memberi tanda pada muka dan tangan dengan
warna biru dan lukisan. Tatto termasuk berhias yang dilarang dalam Islam.
Sebagian orang Arab khususnya kaum wanita berlebih-lebihan dalam hal ini dengan
menato sebagian besar tubuhnya. Sedang pengikut agama lain banyak yang melukisi
badannya dengan sesembahan mereka dan simbol-simbol agama mereka Adapun
hal-hal yang dianggap
oleh manusia baik,
tetapi membawa kerusakan dan
perubahan pada tubuhnya, dari
yang telah diciptakan oleh Allah SWT, dimana perubahan itu tidak layak
bagi itrah manusia,
tentu hal itu pengaruh dari perbuatan setan yang hendak
memperdayakan. Oleh karena itu,
perbuatan tersebut dilarang. Sebagaimana sabda Nabi “Allah melaknati pembuatan
tatto, yaitu menusukkan jarum ke kulit dengan warna yang berupa tulisan, gambar
bunga, simbol-simbol dan sebagainya
mempertajam gigi, memendekkan atau menyambung rambut dengan rambut orang
lain, (yang bersifat palsu, menipu dan sebagainya).” (Hadis shahih). Rasulullah
bersabda: “Allah melaknat (mengutuk) wanita pemasang tato dan yang minta
ditatoi, wanita yang menipiskan bulu alisnya dan yang meminta ditipiskan dan
wanita yang meruncingkan giginya supaya kelihatan cantik, (mereka) mengubah
ciptaan Allah”. Dan di dalam riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan: “Allah
melaknat wanita yang menyambung rambutnya”. (Muttafaq ’Alaih).
5) Menyambung Rambut Berhias dengan menyambung rambut dinamakan Nabi
sebagai suatu bentuk kepalsuan, supaya
tampak anggun dan lain sebagainya. Karena itu terlarang bagi kaum wanita, dan
dianggap sebagai tipu muslihat. Sebagaimana riwayat Said bin Musayyab, salah
seorang sahabat Nabi, ketika Muawiyah berada di Madinah setelah beliau
berpidato, tiba-tiba mengeluarkan segenggam rambut
dan mengatakan, “Inilah rambut
yang dinamakan Nabi saw. Azzur yang artinya atwashilah
(penyambung), yang dipakai
oleh wanita untuk menyambung
rambutnya, hal itulah yang dilarang oleh Rasulullah saw. dan tentu
hal itu adalah
perbuatan orang-orang Yahudi. Bagaimana dengan Anda, wahai para ulama,
apakah kalian tidak melarang hal itu?
Padahal aku telah mendengar sabda
Nabi, “Sesungguhnya terbinasanya orang-orang Israel itu karena
para wanitanya memakai itu
(rambut palsu) terus-menerus.” (HR. Bukhari).
3. Akhlak Berhias
Ketika berhias terdapat rambu-rambu, agar tidak melanggar syari’at yang
sudah ditetapkan oleh Allah:
a. Niat yang lurus, berhias hanya untuk beribadah yang diorientasikan
sebagai rasa syukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Bukan nuntuk menarik
nafsu lawan jenis yang tidak sah.
b. Dalam berhias tidak diperbolehkan menggunakan bahan-bahan yang dilarang
agama, yaitu najis dan yang berbahaya.\
c. Tidak boleh menggunakan hiasan yang menggunakan simbol non muslim4)
Tidak berlebih-lebihan
d. Tidak Boleh berhias seperti orang jahiliah
e. Berhias menurut kelaziman dan kepatutan dengan memperhatikan jenis
kelamin
f. Berhias bukan untuk berfoya-foya
C. Akhlak Perjalanan (Safar)
1. Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
perjalanan diartikan, perihal (cara, gerakan), yakni berjalan atau berpergian
dari suatu tempat menuju tempat untuk suatu tujuan. Secara istilah, perjalanan
sebagai aktiitas seseorang untuk keluar ataupun meninggalkan rumah dengan
berjalan kaki ataupun menggunakan berbagai sarana transportasi yang
mengantarkan sampai pada tempat tujuan dengan maksud ataupun tujuan tertentu.
Dalam bahasa Arab, bepergian dinamakan safar yakni menempuh perjalanan.
Menempuh perjalanan dinamakan dengan safar, sedang yang melakukan perjalanan/
bepergian dinamakan musair. Dalam istilah iqh, safar adalah keluar bepergian
meninggalkan kampung halaman dengan maksud menuju suatu tempat dengan jarak
tertentu yang membolehkan seseorang yang bepergian untuk menqashar shalat dan
menjamak shalat.
Pada zaman Rasulullah, melakukan perjalanan
telah menjadi tradisi masyarakat Arab. Dalam Al-Qur’an Surah Quraisy [106]: 1-4, Allah mengabadikan
tradisi masyarakat Arab yang suka melakukan perjalanan pada musim tertentu
untuk berbagai keperluan.
2. Akhlak dalam Perjalanan
Sebagai
pedoman Islam mengajarkan adab dalam melakukan perjalanan yaitu:
a. Pastikan perjalanan dilakukan dengan niat semata-mata karena Allah SWT.
b. Mengerjakan shalat sunnah dua atau empat rakaat sebelum memulai perjalanan. (HR.Thabrani)
c. Ketika keluar rumah disunnahkan membaca do’a: Bismillaahi Tawakkaltu
‘alalloohi Laa hawla walaa quwwata illa billaahil ‘aliyyil ‘adzhiim/ Dengan
nama Allah aku bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali kepada Allah “ (HR Abu
Dawud, Hakim)
d. Sunnah menaiki kendaraan dengan membaca Bismillah, kemudian duduk dengan membaca Alhamdulillah.
e. Ketika mulai memasuki kendaraan, disunnahkan membaca do’a :
Subhaanalladzii sakhkhoro lanaa haadza wamaa kunnaa lahu muqriniin wa Innaa
ilaa robbinaa lamunqolibuun/Maha suci Allah, yang memudahkan ini bagi kami,
padahal kami tidak sanggup mengendalikannya. Dan sungguh kami akan kembali kepada Rabb kami.
f. Jika tiba di tempat tujuan, disunnahkan membaca do’a Robbi Anzilnii Munzalan
Mubaarokan Wa Anta Khoirul Munziliin/ Ya Allah, Turunkanlah kami di tempat yang
penuh berkah. Dan Engkau sebaik-baik
Pemberi tempat.\
g. Boleh men-jama’ shalat dan atau meng-qasar dalam perjalanan pada dua
waktu, yaitu : Shalat Zhuhur dan Ashar, Shalat Magrib dan Isya.”dan apabila
kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu)…” (An Nisa’ [4]: 101). Anas bin Malik ra berkata, “Kami bersama
Rasulullah saw. keluar dari Madinah ke Makkah, dan beliau mengerjakan
shalat-shalat empat raka’at dengan dua raka’at hingga kita kembali ke Madinah.”
(HR. An Nasai dan At-Tirmidzi). Muadz bin Jabal ra berkata, “Kami keluar
bersama Rasulullah saw. pada Perang Tabuk, kemudian beliau kerjakan shalat
Dzuhur dan shalat Ashar secara jamak, dan mengerjakan shalat Maghrib dan shalat
Isya’ secara jamak.” (Muttafaq Alaih).
h. Gunakan masa dalam perjalanan dengan zikir, jika tidak ada amalan yang
dapat dilakukan lebih baik tidur.
D. Akhlak Bertamu
1. Pengertian
Bertamu
dalah berkunjung ke rumah orang lain dalam rangka mempererat silahturrahim.
Bertamu tentu ada maksud dan tujuannya, antara lain menjenguk yang sedang
sakit, ngobrol-ngobrol biasa, membicarakan bisnis, membicarakan masalah
keluarga, dan sebagainya. Tujuan utama
bertamu menurut Islam adalah menyambung persaudaraan atau silaturrahim.
Silaturrahim tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara
seiman. Allah SWT., memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan
orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain. Mempererat
tali sillaturahim baik dengan tetangga, sanak keluarga, maupun teman sejawat
merupakan perintah agama Islam agar senantiasa membina kasih sayang, hidup
rukun, tolong menolong, dan saling membantu antara yang kaya dengan yang
miskin.
2. Etika Bertamu
a. Meminta izin masuk maksimal sebanyak tiga kali Dalam hal ini (memberi
salam dan minta izin), sesuai dengan poin pertama, maka batasannya adalah tiga
kali. Maksudnya adalah, jika kita telah memberi salam tiga kali namun tidak ada
jawaban atau tidak diizinkan, maka itu berarti kita harus menunda kunjungan.
“jika kamu
tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu
mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah, Maka
hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS An Nur [24]: 28).
Hadis Riwayat Abu Musa Al-Asy’ary ra, dia berkata:
“Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan
untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!’” (HR. Bukhari Muslim)
b. Berpakaian yang rapi dan pantas Bertamu dengan memakai pakaian yang
pantas berarti menghormati tuan rumah dan dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian
rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh tuan rumah, demikian pula sebaliknya.
Firman Allah “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu
berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan)
itu bagi dirimu sendiri….” (QS. Al Isra [17]: 7)
c. Memberi isyarat dan salam ketika datang “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu
sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu
lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nur : 27)
Bahwasanya seorang laki-laki meminta izin ke
rumah Nabi Muhammad saw sedangkan beliau ada di dalam rumah. Katanya: Bolehkah
aku masuk? Nabi sawbersabda kepada pembantunya: temuilah orang itu dan ajarkan
kepadanya minta izin dan katakan kepadanya agar ia mengucapkan “Assalmu alikum,
bolehkah aku masuk” lelaki itu mendengar apa yang diajarkan nabi, lalu ia berkata
“Assalmualikum, bolehkah aku masuk?” nabi Muhammad saw memberi izin kepadanya
maka masuklah ia. (HR Abu Daud)
d. Jangan mengintip ke dalam rumah Mengintip ke dalam rumah sering terjadi
ketika seseorang penasaran apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan
memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya, “Dari Sahal
bin Saad ia berkata: Ada seorang lelaki mengintip dari sebuh lubang pintu rumah
Rasulullah saw dan pada waktu itu beliau sedang menyisir rambutnya. Maka
Rasulullah saw bersabda: “Jika aku tahu engkau mengintip, niscaya aku colok
matamu. Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk meminta izin itu adalah karena
untuk menjaga pandangan mata.” (HR Bukhari)\
e. Memperkenalkan diri sebelum masuk Apabila tuan rumah belum tahu/belum
kenal, hendaknya tamu memperkenalkan diri secara jelas, terutama jika bertamu
pada malam hari. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, “dari Jabir ra Ia berkata:
Aku pernah datang kepada Rasulullah saw lalu aku mengetuk pintu rumah beliau.
Nabi Muhammad saw bertanya: “Siapakah itu?” Aku menjawab: “Saya” Beliau
bersabda: “Saya, saya…!” seakan-akan beliau marah” (HR Bukhari)
f. Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita Dalam hal ini, perempuan
yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak memberi izin masuk tamunya.
Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah sedangkan ia hanya seorang diri sama
halnya mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tamu cukup
ditemui diluar saja.
g. Masuk dan duduk dengan sopan Setelah tuan rumah mempersilahkan untuk
masuk, hendajnya tamu masuk dan duduk dengan sopan di tempat duduk yang telah
disediakan. Tamu hendaknya membatasi diri, tidak memandang kemana-mana secara
bebas. Pandangan yang tidak dibatasi (terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan
kecurigaan bagi tuan rumah.
h. Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati Apabila tuan rumah
memberikan jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan tersebut dengan senang hati,
tidak menampakkan sikap tidak senang terhadap jamuan itu. Jika sekiranya tidak
suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berterus terang bahwa dirinya tidak
terbiasa menikmati makanan atau minuman seperti itu. Jika tuan rumah telah mempersilahkan
untuk menikmati, tamu sebaiknya segera menikmatinya, tidak usah menunggu sampai
berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya. Mulailah makan dengan membaca
basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah Rasulullah bersabda, “Jika
seseorang diantara kamu hendak makan maka sebutlah nama Allah, jika lupa
menyebut nama Allah pada awalnya, hendaklah membaca: Bismillahi awwaluhu
waakhiruhu.” ( HR Abu Daud dan Turmudzi)
i.
Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang
terdekat dan jangan memilih Islam telah memberi tuntunan bahwa makan dan minum
hendaknya dilakukan dengan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri
(kecuali tangan kanan berhalangan). Cara seperti ini tidak hanya dilakukan saat
bertamu saja. Mkelainkan dalam berbagai suasana, baik di rumah sendiri maupun
di rumah orang lain.
j.
Bersihkan piring, jangan biarkan sisa
makanan berceceran Sementara ada orang yang merasa malu apabila piring yang
habis digunakan untuk makan tampak bersih, tidak ada makanan yang tersisa
padanya. Mereka khawatir dinilai terlalu lahap. Islam memberi tuntunan yang
lebih bagus, tidak sekedar mengikuti perasaan manusia yang terkadang keliru.
Tamu yang menggunakan piring untuk menikmati hidangan tuan rumah, hendaknya
piring tersebut bersih dari sisa makanan. Tidak perlu menyisakan makanan pada
piring yang bekas dipakainya yang terkadang menimbulkan rasa jijik bagi yang
melihatnya.
k. Segeralah pulang setelah selesai urusan Kesempatan bertamu dapat
digunakan untuk membicarakan berbagai permasalahan hidup. Namun demikian,
pembicaraan harus dibatasi tentang permasalahan yang penting saja, sesuai
tujuan berkunjung. Hendaknya dihindari pembicraan yang tidak ada ujung
pangkalnya, terlebih membicarakan orang lain. Tamu yang bijaksana tidak suka
memperpanjang waktu kunjungannya, ia tanggap terhadap sikap tuan rumah. Apabila
tuan rumah tekah memperhatikan jam, hendaknya tamu segera pamit karena mungkin
sekali tuan rumah akan segera pergi atau mengurus masalah lain.
l.
Lama waktu bertamu maksimal tiga hari tiga
malam Terhadap tamu yang jauh tempat tinggalnya, Islam memberi kelonggaran
bertamu selama tiga hari tiga malam. Waktu twersebut dikatakan sebagai hak
bertamu. Setelah waktu itu berlalu maka habislah hak untuk bertamu, kecuali
jika tuan rumah menghendakinya. Dengan pembatasan waktu tiga hari tiga malam
itu, beban tuan rumah tidak telampau berat dalam menjamu tamuhnya.
3. Membiasakan akhlak bertamu
Bertamu
merupakan kebiaaan poitif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional
sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiasaan kunjung mengunjungi, maka
segala persoalan mudah diselesaikan, segala urusan mudah dibereskan dan segala
maalah mudah diatasi. Al-Qur'an memberikan isyarat yang tegas, betapa
pentingnya setiap orang yang bertemu dapat nejaga diri agar tetap menghormati
tuan rumah. Setiap tamu harus berusaha menahan segala keinginan dan kehendaknya
baiknya sekalipun, jika tuan rumah tidak berkenan menerimanya. Demikin pula
apabila kegiatan bertamu telah usai, maka seorang yang bertamu harus
meninggalkan kesan yang baik dan menyenagkan bagi tuan rumah.
E. Akhlak Menerima Tamu
1. Pengertian
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, menerima tamu (ketamuan) diartikan; kedatangan
orang yang bertamu, melawat atau berkunjung. Secara istilah menerima tamu
dimaknai menyambut tamu dengan berbagai cara penyambutan yang lazim (wajar)
dilakukan menurut adapt ataupun agama dengan meksud yang menyenagkan atau
memuliakan tamu, atas dasar keyakinan untuk mendapatkan rahmad dan rida dari
Allah. Menerima kehadiran tamu yang datang kepada kita hendaknya dapat
menunjukkan kesan yang baik kepada tamu kita, seperti pesan Rasulullah, “
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklan memuliakan
tamunnya ( H.R Bukhari dan Muslim).
2. Etika menerima tamu
a. Berpakaian yang pantas Sebagaimana orang yang bertamu, tuan rumah
hendaknya mengenakan pakaian yang pantas pula dalam menerima kedatangan
tamunya. Berpakaian pantas dalam menerima kedatangan tamu berarti menghormati
tamu dan dirinya sendiri. Islam menghargai kepada seorang yang berpakaian
rapih, bersih dan sopan. Rasululah saw bersabda, “Makan dan Minumlah kamu,
bersedekahlah kamu dan berpakaianlah kamu, tetapi tidak dengan sombong dan
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah amat senang melihat bekas nikmatnya pada
hambanya.” (HR Baihaqi)
b. Menerima tamu dengan sikap yang baik Tuan rumah hendaknya menerima
kedatangan tamu dengan sikap yang baik, misalnya dengan wajah yang cerah, muka
senyum dan sebagainya. Sekali-kali jangan acuh, apalagi memalingkan muka dan
tidak mau memandangnmya secara wajar. Memalingkan muka atau tidak melihat
kepada tamu berarti suatu sikap sombong yang harus dijauhi sejauh-jauhnya.
c. Menjamu tamu sesuai kemampuan dan tidak perlu mengada-adakan Termasuk
salah satu cara menghormati tamu ialah memberi jamuan kepadanya. Kewajiban
menjamu tamu yang ditentukan oleh Islam hanyalah sebatas kemampuan tuan rumah.
Oleh sebab itu, tuan rumah tidak perlu terlalu repot dalam menjamu tamunya.
Bagi tuan rumah yang mampu hendaknya menyediakan jamuan yang pantas, sedangkan
bagi yang kurang mampu henaknya menyesuaikan kesanggupannya. Jika hanya mampu
memberikan air putih maka air putih itulah yang disuguhkan. Apabila air putih
tidak ada, cukuplah menjamu tamunya dengan senyum dan sikap yang ramah. Jamuan
yang memaksa/mengada adakan akan berakibat tidak ikhlas atau berat hati jika
menerima tamu ke dua kalinya.
d. Lama waktu Sesuai dengan hak tamu, kewajiban memuliakan tamu adalah tiga
hari, termasuk hari istimewanya. Selebihnya dari waktu itu adalah sedekah
baginya. Sabda Rasulullah, “Menghormati tamu itu sampai tiga hari. Adapun
selebihnya adalah merupakan sedekah baginya,.” (HR Muttafaqu Alaihi)\
e. Antarkan sampai ke pintu halaman jika tamu pulang Salah satu cara
terpuji yang dapat menyenangkan tamu adalah apabila tuan rumah mengantarkan
tamunya sampai ke pintu halaman. Tamu akan merasa lebih semangat karena merasa
dihormati tuan rumah dan kehadirannya diterima dengan baik.
f. Wanita yang sendirian di rumah dilarang menerima tamu laki-laki masuk ke
dalam rumahnya tanpa izin suaminya ,Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)…”.
(QS. An Nisa [4]: 34) Rasulullah saw bersabda; ( Wanita itu adalah (ibarat)
pengembala di rumah suaminya. Dia akan ditanya tentang pengembalaannya
(dimintai pertanggung jawaban).” (HR Ahmad, bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi
dan Ibnu Umar). Oleh sebab itu, tamu lelaki cukup ditemui diluar rumah saja,
atau diminta datang lagi (jika perlu) saat suaminya telah pulang bekerja.
Membiarkan tamu lelaki masuk ke dalam rumah padahal dia (wanita tersebut) hanya
seorang diri, sama saja dengan membuka peluang besar akan timbulnya bahaya bagi
diri sendiri. Bahaya yang dimaksud dapat berupa hilangnya harta dan mungkin
sekali akan timbul itnah yang mengancam kadamaian keluarga.
3. Membiasakan berakhlak menerima tamu
Setiap
muslim wajib memuliakan tamu, tanpa membeda-bedakan status sosial ataupun
maksud dan tujuan bertamu. Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan
menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut,
mempersilahkan duduk ditempat yang baik. Kalau perlu, disediakan ruangan khusus
untuk menerima tamu yang selau dijaga kerapian dan kelestariannya Menerima tamu
merupakan bagian dari aspek sosial dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga.
Menerima tamu dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan
menunjukkan kualitas kepribadian seorang muslim. Setiap muslim harus
membiasakan diri untuk menyambut setiap tamu yang datang dengan penyambutan
dengan suka cita. Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah
harus menghadirkan pikiran yang positif (husnudzon) terhadap tammu, jangan
sampai kehadiran tamu disertai dengan munculnya pikiran negative dari tuan
rumah (su’udzon). Jika tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap,
tuan rumah wajib menerima dan menjamunya mekimal tiga hari tiga malam. Lebih
dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk tetap menjamunyaatau tidak.
Menurut Rasulullah saw menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah,
bukan lagi kewajiban.
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB III AKHLAK TERCELA Kompetensi Inti (KI) : 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. Mengemban...
-
BAB V III MENGHINDARI AKHLAK TERCELA Kompetensi Dasar 1.4 Menyadari kewajiban menghindari akhlak tercela: israf, tabzir, dan bakh...
-
BAB IV MEMBIASAKAN AKHLAK TERPUJI Kompetensi Inti (KI) : 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya 2. ...