BAB VI
MEMAHAMI TASAWUF DALAM ISLAM
Kompetensi Inti
1.
Menghayati
dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2.
Mengembangkan
perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong
royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif ) dan menunjukan sikap
sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan bangsa dalam berinteraksi
secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri
sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia
3.
Memahami
dan menerapkan pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dalam ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta
menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesiϐik
sesuai dengan bakat
dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4.
Mengolah,
menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak
secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metode sesuai kaidah
keilmuan
Kompetensi Dasar
1.1
Menghayati
ajaran tasawuf untuk memperkukuh keimanan
1.2
Membiasakan
penerapan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan sehari-hari
1.3
Memahami
pengertian, kedudukan dan sejarah tasawuf dalam Islam
1.4
Menyajikan
pengertian, kedudukan dan sejarah tasawuf dalam Islam
Indikator
1.
Siswa dapat
menjelaskan pengertian, kedudukan
dan sejarah tasawuf dalam Islam
2.
Siswa
dapat menunjukkan fungsi dan peranan tasawuf dalam keagamaan dan kehidupan
modern.
1. TASAWUF
1. Pengertian Tasawwuf
a.
Pengertian
Etimologi
Istilah tasawuf, menurut Amin Syukur adalah istilah yang baru di
dunia Islam. Istilah tersebut belum ada
pada zaman Rasulullah saw,
juga pada zaman
para sahabat namun prakteknya
sudah dijalankan pada masa itu. Bahkan, tasawuf sendiri tidak ditemukan dalam
dalam Al-Qur’an. Tasawuf adalah
sebutan untuk mistisisme Islam. Dalam
pandangan etimologi kata suϔi mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut Haidar
Bagir, kata suϔi berasal bahasa Arab yang merujuk pada beberapa kata dasar. Di
antaranya adalah: 1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap
kaum suϐi berada
dalam shaff pertama. 2. Kata Shuf, yakni bahan wol atau bulu domba
kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum suϐi. 3. Kata Ahlu as-Shuffah, yakni
parazahid(pezuhud), dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di
serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn
Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah,
Abdullah ibn Mas’ud,
Abdullah ibn Abbas,
dan Hudzifah bin Yaman. 4. Ada
juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku Badui yang memiliki gaya hidup
sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian tasawufberasal
dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
sederhana para suϐi maupun aspek kesejarahan.
b.
Pengertian
Terminologi
1)
Imam
Junaid dari Baghdad (w. 910) mendeϐinisikan tasawuf sebagai mengambil
setiap sifat mulia
dan meninggalkan setiap
sifat rendah. Atau
keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada
budi perangai yang terpuji.
2)
Syekh Abul
Hasan Asy Syadzili
(w.1258), syekh suϐi
besar dari Arika
Utara, mendeϐinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui
cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
3)
Ibn
Khaldun mendiϐinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul
kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian
dengan segala selain
Allah, hanya menghadap
kepada Allah semata.
Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang
selalumemperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan
menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
4)
Ibnu
Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu keadaan bagi diri atau jiwa yang
mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan perbuatan dengansenang tanpa
didahului oleh daya pemikiran dan pertimbangan kerana sudah melekat dalam
dirinya.
5)
Harun
Nasution dalam bukunya falsafat dan Mistisme dalam Islammenjelaskan bahwa,
tasawuf merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana seorang Islam bisa sedekat mungkin dengan Tuhan.
6)
Amin
syukur mendeϐinisikan tasawuf sebagai sistem latihan dengan kesungguhan
(riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memeperdalam
aspek kerohanian dalam
rangka mendekatkan diri
kepada Allah (taqarrub) sehingga segala perhatian hanya
tertuju kepada Nya.
Jadi, tasawuf adalah ilmu untuk
mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun
dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Dari
deϐinisi tentang tasawuf
di atas diperhatikan
dan dipahami secara
utuh, maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf juga
berorientasi moral. Dan dapat
disimpulkan bahwa basis
tasawuf ialah penyucian
hati dan penjagaannya
dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirnya ialah hubungan yang benar
dan harmonis antara manusia dan Allah. Dengan demikian, suϐi adalah orang yang
telah dimampukan Allah untuk menyucikan hati dan menegakkan hubungannya dengan
Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana
dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.
2.
Dasar-dasar
Tasawwuf
Diantara ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi landasan munculnya
kezuhudan dan menjadi jalan kesuϐian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang
rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan
jiwa (QS. As Sajadah [32]: 16, QS. Asy Syams [91]: 7-10), ayat yang berkenaan
dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri
hanya kepada Allah SWT semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah
sebagai tempat menggantungkan segala urusan. (QS. At Thalaq
[65]: 2-3). ayat
yang berkenaan dengan
urgensi kezuhudan dalam
kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa [42]: 20) dan ayat-ayat yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat.
a.
“lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan
penuh rasa takut dan harap, serta mereka menaϔkahkan apa apa rezki yang Kami
berikan.” (QS. As Sajadah [32]: 16).
b.
7.
dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, 10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.(QS. Asy Syams [91]: 7-10)
c.
2.
Bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat dan orang yang bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. At Thalaaq [65]:
2-3)
d.
“
barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan
itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa [42]: 20)
e.
“ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbanggabanggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid [57]: 20)
3.
Pandangan
tentang Asal Usul Tasawwuf
a.
Suϔisme
berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada
kaum asketen (yaitu
orang yang hidupnya
menjauhkan diri dari
kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi
dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam
ajaran Islam
b.
Suϔisme
yaitu ajaran mistik
yang dianut sekelompok
kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang
mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali
(als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan
selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia.
c.
Tasawuf dan suϐi berasal
dari kota Bashrah
di negeri Irak.
Dan karena suka mengenakan pakaian
yang terbuat dari
bulu domba (Shuuf), maka
mereka disebut dengan Suϔi. Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran
Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib ra. Menurut Asy
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Suϔi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari
lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka,
maka sangat berbeda dengan ajaran Al-Qur'an dan As Sunnah. Dan kita tidak
pernah melihat asal usul ajaran Suϔi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia
Muhammad SAW, dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya,
kita melihat bahwa ajaran Suϔi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban
Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha”
4.
Sejarah
Perkembangan Tasawuf
a.
Abad
I dan II Hijriyah
Fase abad pertama
dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase tasawuf tapi
lebih tepat disebut
sebagai fase kezuhudan.
Tasawuf pada fase
ini lebih bersifat amaliah dari
pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti memperbanyak ibadah,
menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain sebagainya.
Kesederhanaan kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak
ucapan dan tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan
kesederhanaan baik dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya
makanan yang enak dan pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini,
terdapat fenomena kehidupan spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh
sekelompok sahabat Rasul s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.Kelompok
ini dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shuϐi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman
al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn
Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas
ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum
dan Khibab ibn al-Arut.
b.
Fase
Abad III dan IV Hijriyah
Abad ketiga
dan keempat disebut
sebagai fase tasawuf.
pada permulaan abad
ketiga hijriyah mendapat sebutan shuϐi. Hal itu dikarenakan tujuan utama
kegiatan ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai
dengan pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati
hubungan langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa
konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana ϔi
al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan mendorong ke persatuan dengan yang dicintai
( al-ittihad). Di sini telah terjadi perbedaan tujuan ibadah orang-orang
syariat dan ahli hakikat.Pada fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul.
Fana adalah suatu kondisi dimana seorang
shuϐi kehilangan kesadaran
terhadap hal-hal ϐisik
( al-hissiyat). Ittihad
adalah kondisi dimana
seorang shuϐi merasa
bersatu dengan Allah
sehingga masingmasing bisa
memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh
manusia yang dipilih.Di antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami
(w.263 H.) dengan konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur
al-Hallaj ( 244 – 309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran
hululnya.
c.
Fase
Abad V Hihriyah
Fase ini disebut
sebagai fase konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli
yaitu al-Qur`an dan
al-Hadis atau yang
sering disebut dengan
tasawuf sunnyyakni tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan
para sahabatnya. Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya
dimana tasawuf sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah)
Nabi dan sahabatnya. Tokoh tasawuf pada fase ini adalah Abu Hamid al-Ghazali
(w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghazali. Tokoh lainnya adalah Abu
al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin
Bin Abd al-Malik Bin Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal
dengan al-Qusyairi ( 471 H.), al-Qusyairi menulis al-Risalah
al-Qusyairiyahterdiri dari dua jilid.
d.
Fase
Abad VI Hijriyah
Fase ini ditandai
dengan munculnya tasawuf falsaϐi yakni tasawuf yang memadukan antara rasa
(dzauq)dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan ϐilsafat terutama ϐilsafat
Yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagai persatuan antara Tuhan dan
hamba kemudian diteorisasikan dalam
bentuk pemikiran seperti
konsep wahdah al-wujud yakni bahwa wujud yang sebenarnya adalah Allah
sedangkan selain Allah hanya gambar yang bisa hilang dan sekedar sangkaan dan
khayali. Tokoh-tokoh pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih
dikenal dengan Ibnu Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu
Arabi yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh
al-Akbar(Syekh Besar). Tokoh lain adalah al-Syuhrawardi(549-587 H.)
dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia
dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan kekufuran dan kezindikan
pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi.
Diantara kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya
adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan Ibn al-Faridl (632 H.)
5.
Pembagian
Ilmu Tasawuf
a.
Tasawuf
Akhlaki
Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai
etis (moral) atau taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Ajaran
tasawuf akhlaki membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di
formulasikan pada pengaturan sikap mental
dan pendisiplinan tingkah
laku yang ketat,
guna mencapai kebahagiaan
yang optimal. Dengan metode-metode
tertentu yang telah
dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya
menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah)sekaligus mewujudkan
akhlak yang terpuji(Mahmudah)didalam diri para suϐi.Dalam diri manusia ada
potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi
untuk menjadi baik
adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara
potensi untuk menjadi buruk
adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan. Sebagaimana digambarkan
dalam QS. As-Syams : 7-8 sebagai berikut: Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
Tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1)
Takhalli
Takhalli adalah usaha
mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak
tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2)
Tahalli
Tahalli adalah upaya
mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap,
perilaku, dan akhlak
terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum suϐi setelah mengosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat
eksternal (luar) seperti sholat, puasa, haji, maupun internal (dalam) seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
3)
Tajalli
Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh
jiwa yang telah
membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur,
maka rasa keTuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang
dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan
sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Para sufi yang mengembangkan
taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H
– 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul
Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505
H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
1.
Tasawuf
Amali
Tasawuf amali
adalah tasawuf yang lebih mengutamakan
kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh
penghayatan spiritual dalam
setiap melakukan ibadah. Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah
dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,
yaitu dengan melakukan macam-macam amalan
yang terbaik serta
cara-cara beramal yang
paling sempurna. Tasawuf
Amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah
Al Adawiyah dan Dzun Nun Al Misri.Pengalaman tasawuf amali dibagi kedalam empat
bidang sebagai berikut:
a.
Syari’at
Syari’at adalah
hukum-hukum formal yang dijadikan sandaran amalan lahir yang ditetapkan dalam
ajaran agama melalui
Al-Qur’an dan Sunnah.
Sehingga seorang pengamal suϐi
tidak mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan
lahiriahnya.
b.
Thariqot
Kalangan suϐi mengartikan
thariqat sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut
tasawuf dan dijadikan metode pengarahan jiwa dan moral.
c.
Hakikat
Dalam dunia suϐi hakikat
diartikan sebagai aspek batin yang paling dalam dari setiap amal
atau inti dan
rahasia dari syariat
yang merupakan tujuan
perjalanan menuju Allah.
d.
Ma’rifat
berarti pengetahuan atau
pengalaman. Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang
Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu
hakikat.
2.
Tasawuf
Falsafi
Tasawuf Falsafi
yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah pemikiran
mendalam/metafisik. Dalam upaya
mengungkapkan penglaman rohaninya, para para suϐi falsaϐi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang dikenal
dengan syathahat yaitu suatu ungkapan
yang sulit di
pahami, yang sering mengakibatkan
kesalahpahaman. Tokoh tasawuf ini antara lain, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj,
Ibnu Arabi, Suhrawardi.Dalam tasawuf falsaϐi, tentang bersatunya Tuhan dengan
makhluknya, setidaknya terdapat
beberapa term yang
telah masyhur beserta
para tokohnya yaitu
; hulul,wadah al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.
a.
Hulul
Hulul merupakan
salah satu konsep
didalam tasawuf falsaϐi
yang meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan
makhluk. Paham hululini disusun oleh Al-hallajKata hulul berimplikasi kepada
bahwa Tuhan akan menempati dan memilih tubuh manusia untuk ditempati, bila
manusia dapat menghilangkan sifat nasut( kemanusiaannya) dengan cara fana
(menghilangkan sifat-sifat tercela melalui meniadakan alam duniawi menuju
kesadaran keTuhanan).
b.
Wahdah
Al-Wujud
Istilah wahdah Al-wujud
adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu dengan Tuhan,
akan tetapi Tuhan disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn bersatu padu disini
bukanalh Dzat yang Tuhan yang sesungguhnya, melainkan sifat-sifat Tuhan yang
memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana’
c.
Ittihad
Pembawa faham
ittihad adalah Abu
Yazid Al-busthami. Menurutnya
manusia adalah pancaran Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang
kesadaranya [sebagai manusia] maka padadasarnya ia telah menemukan asal mula
yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
6.
Sumber-sumber
Tasawwuf
Sebagaimana
layaknya ilmu tauhid, ilmu ϐiqih, ilmu akhlaq, ilmu kalam, ulumul AlQur’an,
ulumul hadis dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul
setelah Rasul wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, eksistensi namanya baru
dikenal jauh setelah Rasul wafat. Namun esensi ilmu tasawuf sesungguhnya
bersumber dari Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad suϐi dan qiyas sufi.
a.
Allah
Allah merupakan Zat
sumber ilmu tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf
dari selain Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmu-Nya kepada
para sufi lewat
hidayah (ilham) baik
langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah yang
Allah kehendaki. Ada kalanya lewat
Al-Qur'an dengan metode iqro’ul Qur’an (membaca, menyimak,
menganalisa isi kandungan
Al-Qur'an), ada pula melalui
alam dengan cara perenungan suϐi
dan lain sebagainya
yang pada intinya
merupakan hidayah dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide
tercerahkan dalam nuansa pemikiran dan keyaqinan terunjam di hati untuk
dimanifestasikan dalam realita kehidupan nyata sebagai bentuk pengabdian diri
kepada Allah.
b.
Rasulullah
SAW
Rasul merupakan
sumber kedua setelah
Allah bagi para
suϐi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena
hanya kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyu-Nya, tentulah Rasul pula yang
lebih banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat dalam
Al-Qur'an. Semua keterangan tersebut hanya ada di hadis Rasulullah, maka sumber
yang kedua ilmu tasawuf adalah Hadis (Sunnah Rasul).
c.
Pengalaman
Sahabat
Setelah merujuk pada
referensi Al-Qur'an dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawuf
adalah pengetahuan dan
tindakan para pengikut
setia Rasulullah Muhammad saw.
Pengalaman spiritual yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu.
d.
Ijma’
Sufi
Ijma’ Suϐi
(kesepakatan para ‘ulama
tasawuf ) merupakan esensi
yang sangat penting dalam ilmu
tasawuf, karenanya mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu
tasawuf setelah Al-Qur'an dan Hadis.
e.
Ijtihad
Sufi
Dalam
kesendiriannya, para suϐi banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu
merupakan guru terbaik, namun Allah memberi akal untuk berfikir semaksimal
mungkin sebagai alat pembeda antara kepositifan dengan kenegatifan dalam
pengalaman.
f.
Qiyas
Sufi
Qiyas merupakan
penghantar suϐi untuk dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari
jama’ahnya.
g.
Nurani
Sufi
Setiap sufi positif,
memiliki nurani yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah
firasat, rasa, radar batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap
kaum sufi, bias dari keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah
kepada Allah tanpa kenal lelah.
h.
Amalan
Sufi
Kaum sufi memegang
teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya, karena
jika dua hal
tersebut diketahui umum
dapat menimbulkan kesalah fahaman, hal ini disebabkan dimensi
tariqat (perjalanan) suϐi merupakan dimensi batin (roh, rohani, jiwa, sesuatu
esensi tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang mampu menjalaninya,
namun para suϐi
amat merindukannya disebabkan
semata karena cinta kepadaNya.
7.
Istilah-istilah
Tasawuf
a.
Al-Maqamat
1)
Pengertian
Definisi Al maqamatsecara
etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan
spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya adalah tempat berdiri, dalam
terminologi suϐistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan
Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.Menurut Al
Qusyairi (w. 465 H)
maqam adalah tahapan adab (etika)
seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai
upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam
pandangan Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang
hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah),
kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spiritual (riyadhah)dan mengarahkan segenap jiwa raga
semata-mata kepada Allah.
b.
Tingkatan
Al-Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab
Ihya Ulumudinmembuat sistematika maqamatdengan taubat, sabar, faqir, zuhud,
tawakal, mahabah, ma’rifat dan ridha.
1)
Taubah
Dalam ajaran tasawuf
konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam pengertian.
Secara literal taubat
berarti kembali. Dalam perspektif
tasawuf, taubat berarti kembali dari perbuatan-perbuatan yang
menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.
Menurut Abu Nashr
Al Sarraj taubah terbagi pada
beberapa bagian.
Pertama,taubatnya orang-orang yang
berkehendak (muridin), muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua,
taubatnya ahli haqiqat
(kaum khawwas). Pada
bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan
dosa-dosa mereka karena keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka
senantiasa berzikir kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus).
Adapun taubatnya ahli ma’rifatyaitu berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu
itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf
[12]: 53). “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah …” (QS. At
Tahrim [66]: 8).
2)
Wara’
Kata wara’secara
etimologi berarti menghindariatau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf
bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang
meragukan (syubhat).Hal ini sejalan dengan hadis nabi, “Diantara (tanda)
kebaikan ke-Islaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting
baginya”. Adapun 2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :
a)
Meninggalkan
apa yang dilarang oleh Allah dan terkait denganhati (kesesatan, bid’ah,
kefanatikan dan berlebih-lebihan)
b)
Meninggalkan
segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh
pada keharaman, dan
meninggalkan kelebihan meskupun
berupa bagian dari kehalalan.
3)
Zuhud
Menurut Imam Ghazali,
makna kata zuhudadalah mengurangi keinginan kepada dunia dan menjauh darinya
dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad saw Al-Warraq (w. 290/903 M )
kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti ditinggalkan yaitu huruf z berarti
zinah(perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa(keinginan), dan d
menunjuk kepada dunya(materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhuddiartikan dengan
kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk
meraihnya hanya karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti
darizuhdadalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan
dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang
tidak didapat.Menurut Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu :
pertama, Kezuhudan orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan
orang-orang khusus (kezuhudan dalam
kezuhudan). Hal ini
berarti berubahnya kegembiraan yang merupakan hasil daripada
zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya benar-benar hanya
dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang khusus dikalangan kaum
khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan bersama Allah. Hal ini
hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci. Mereka telah merasa fana’
sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan menurut Abu Nashr Al
Sarraj ada tiga kelompok zuhud:
a)
Kelompok
pemula (mubtadiin), mereka adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta
milik, dan juga kosong kalbunya.
b)
Kelompok para
ahli hakikat tentang
zuhud (mutahaqqiqun ϔi Al
zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang
meninggalkan kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini,
baik itu berupa pujian dan penghormatan dari manusia.
c)
Kelompok yang
mengetahui dan meyakini
bahwa apapun yang
ada di dunia
ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa harta milik tidak
membuat mereka jauh dari Allah
dan tidak mengurangi
sedikitpun kedudukan mereka,
semuanya semata-mata karena Allah. “… Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orangorang yang bertakwa…” (QS. An
Nisa [4]: 77), “…dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apaapa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orangorang muhajirin), atas diri mereka sendiri, Sekalipun mereka
dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al Hasyr [59]: 9).
4)
Al Shabr
Al Sabr secara etimologi
berarti tabah hati.
Dalam Mu’jam Maqayis Al
Lughahdisebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu menahan, sesuatu
yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi adalah menahan jiwa
dari segala apa tidak disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk
mendapatkan ridha Allah.Dalam perspektif tasawuf Al shabrberarti menjaga
menjaga adab pada musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan
perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya serta tabah menghadapi segala
peristiwa. Sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari
iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan
setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna
Al Shabrmenurut ahli suϐi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap
apa yang menimpanya.Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap
perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala
perencanaan(angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkaraharam adalah sabar
terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap
kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang
menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut saling untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya.Sabar bukanlah suatu
maqam yang diperoleh
melalui usaha manusia
sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada
salik dan orangorang yang dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan
yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala
bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha. “bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan
Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekaϔiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An Nahl [16]: 127).
Untuk lebih
jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr
a)
Sabar
dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau
kesusahan.Adapun contohnya apa
yang terjadi pada
nabi Ayyub, beliau
ditinggalkan oleh istri dan
anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta
bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
b)
Sabar
dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah
SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti
Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan
keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat.
Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung
untuk melakukan maksiat.
c)
Sabar
dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh
nabi Ibrahim dan anaknya Ismail,
beliau berdua dengan
tetap sabar dan
taat atas perintah Allah, meskipun
saat itu sang
ayah akan menyembelih
anaknya sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani
ketaatan atas perintah-Nya.
5)
Syukur
Syukur secara terminology
berasal dari kata
bahasa Arab, syakara yang berarti membuka segala nikmat, yakni gambaran
dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.Syukur berarti rasa
terima kasih atas nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat
tersebut di jalan yang diridhaiAllah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan
amal perbuatan. Ilmu berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat.
Hal berarti gembira atas nikmat yang telah diberikan. Syukur dalam pandangan
Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu
mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur
dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk
ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah
Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan,
dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan
menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah
yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur. “dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; «Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih».(QS. Ibrahim : 7)
6)
Tawakkal
Tawakkalbermakna
berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan
menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin
dan memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya
makna atau konsep tawakkal dalam
dunia tasawuf berbeda
dengan konsep agama. Tawakkal
menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala
sesuatu pada takdir dan kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut
dalam kitabnya bahwa semua yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya,
sungguh tidak berakhlak seorang jika ia meminta lebih dari yang telah
ditentukan Allah. “… Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu.” (QS. At Thalaaq [65]: 2-3), “ Katakanlah: «Sekali-kali tidak akan
menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orangorang yang beriman harus
bertawakal.» (QS. At Taubah [9]: 51)
7)
Ridha
Ridha berarti sebuah
sikap menerima dengan
lapang dada dan
senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada
seorang hamba, meskipun
hal tersebut menyenangkan atau tidak. Sikap ridhamerupakan
buah dari kesungguhan seseorang
dalam menahan hawa nafsunya. Imam Ghazali mengatakan bahwa hakikat
ridha adalah tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas
kehidupan manusia hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan
Allah.Orang yang ridhaterhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan
menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang
teguh kepadaNya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Allah berϔirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha
terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar”.(QS. Al Maaidah [5]: 119).
Untuk lebih jelasnya
berikut diketengahkan contoh Ridla
Segala sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita
sebagai manusia hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya
senantiasa bersikap ridha kepada qadhadan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit
dan menyakitkan. Sikap ridha
adalah cerminan kepaTuhan
hamba kepada Penciptanya. Apapun bentuk pemberian-Nya
merupakan yang terbaik untuk kita.
B.
Al
Ahwal
1.
Pengertian
Al Ahwal
Al ahwalbentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya
diartikan sebagai keadaan mental (menthal states)yang dialami oleh para suϐi di
sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut halsebagai setiap sifat
yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak pada waktu yang lain,
seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia
akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat
dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan
karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
a. Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori
halyaitu: Al Murâqabah(rasa selalu diawasi oleh Tuhan), Al Qurb(perasaan dekat
kepada Tuhan), Al Mahabbah(rasa cinta kepada Tuhan), Khauf wa Rajâ’(rasa takut
dan pengharapan kepada Tuhan), Al Dzauq(rasa rindu), Al Uns(rasa berteman), Al
Thuma’ninah(rasa tenteram), Al Musyâhadat(perasaan menyaksikan Tuhan dengan
mata hati), dan Al Yaqîn(rasa yakin).
1)
Muraqabah
Muraqabahdalam tradisi suϐi adalah kondisi kejiwaan yang dengan
sepenuhnya ada dalam keadaan konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya
pikir dan imajinasinya tertuju pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih
jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai
manusia. Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada
dasarnya segala perilaku peribadatan
adalah dalam rangka
muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata
lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di mana seorang
individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari sepenuhnya
bahwa Allah selalu
mengawasi segenap perilaku
hambanya. Dengan kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas
diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
2)
Mahabbah
Mahabbah mengandung arti keteguhan dan kemantapan. Seorang yang
sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu tidak akan beralih atau berpaling pada
sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh dan mantap serta senantiasa mengingatdan
memikirkan yang dicinta. Al Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan
seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga
tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan
ia melupakan sifatnya sendiri.Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al
Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta
orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang
Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah
ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus. Karena
jika orang mencintai sesuatu,
maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya. Kedua,
cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul karena penglihatan
mata hati mereka
terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan
Tuhan. Ciri-ciri cinta
ini adalah “terkoyaknya
tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah
lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan
duniawi). Ketiga, cinta orang-orang shiddiqdan arif. Cinta macam ini timbul
dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun.
3)
Khauf
Al Qusyairi mengemukakan
bahwa khauf terkait
dengan kejadian yang
akan datang. Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya
sesuatu yang dicintai. Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya
baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana firman Allah “… karena itu
janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu
benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175) Seorang yang diliputi
perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia lakukan untuk
kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena
keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf
akan berϐikiran jauh ke depan.
4)
Raja’
Raja’adalah keterikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi
pada masa
yang akan datang. Al Qusyairi membedakan antara harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja’
bersifat aktif, sementara
tamanni bersifat pasif.
Seseorang yang mengharapkan sesuatu
akan berupaya semaksimal
mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak
melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk mendapatkan yang
diangan-angankannya. Harapan akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam
menjalankan segala aktiϐitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang
menyelimutinya. Dengan Demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya
dengan penuh kayakinan.
5)
Syauq
Rindu (syauq)merupakan luapan perasaan seseorang individu yang mengharapkan
untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan
kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang
dirindukan. Begitu pula
seorang hamba yang
dilanda kerinduan kepada
Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain
Allah. Oleh karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri
seseorang dari hawa nafsu.Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan
rindu, adalah mereka yang segala aktiϐitas baik perilaku maupun gagasannya
tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai
kebenaran yang hakiki. Dan tidak akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang
semu yang dapat mengalihkan perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan
senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia
pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan
dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan atau kecemasan.
6)
Uns
Perasaan suka cita
(uns)merupakan kondisi kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan
dengan Tuhan. Atau
dengan pengertian lain
disebut sebagai pencerahan dalam
kebenaran. Seseorang yang
ada pada kondisi uns akan merasakan
kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan
serta suka cita
yang meluap-luap. Kondisi
kejiwaan seperti ini dialami oleh seorang sufi ketika merasakan kedekatan
dengan Allah. Yang mana, hati dan perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan
serta kasih sayang yang luar biasa, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan.Keadaan seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi
tertentu, misalnya ketika menikmati
keindahan alam, keluasan
bacaan atau merdunya
alunan musik, yang mana dalam situasi tersebut seorang suϐi benar-benar
merasakan keindahan Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang
lain memiliki pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang
bersifat pribadi, sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang
lain.
7)
Tuma’ninah
Tuma’ninahadalah
keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Hal
ini didasarkan pada firman Allah SWT, 27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke
dalam jama›ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr
[89]: 27-30).Ibnu Qayim membagi tuma’ninahdalam tiga tingkatan: pertama,
ketenangan hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman jiwa pada kashf,
ketentraman perindu pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan
pada kelembutan kasihnya. Ketiga tingkatan
ini berkaitan dengan
konsep fana’ dan baqa’. Menurut pandangan sejumlah suϐi, fana’adalah
gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’adalah jelasnya sifat-sifat
terpuji.
8)
Musyahadah
Musyahadah adalah kehadiran
Al Haqq dengan tanpa dibayangkan.
Menurut Al Junaid, orang yang ada pada puncak musyahadahkalbunya
senantiasa dipenuhi oleh cahaya keTuhanan,
sehingga ibarat kilatan
cahaya di malam
hari yang tiada putus sama sekali, sehinggga malampun
laksana siang yang nikmat.
9)
Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi
sufi adalah merupakan
perpaduan antara ‘ilmu al yaqin, ’ain al yaqindan haqq al
yaqin. ‘Ilm al Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti.
sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al
Yaqinadalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya.
‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al
Yaqinbagi para ilmuwan. Sedangkan haqq al Yaqinbagi orang-orang yang ma’rifah.Jadi,
Al Yaqin adalah sebuah kepercayaan
yang kuat dan
tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki,
karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya
dan dirasakan oleh
seluruh ekspresinya, serta
disaksikan oleh segenap eksistensinya.
8.
Peranan
Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Prof.
Zakiah Darajat, dalam bukunya Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental,menyatakan
bahwa fungsi agama adalah :
a.
Agama memberikan
bimbingan bagi manusia
dalam mengendalikan dorongandorongan sebagai konsekuensi dari
pertumbuhan ϐisik dan psikis seseorang.
b.
Agama
dapat memberikan terapi mental bagi manusia dalam menghadapi
kesukarankesukaran dalam hidup.
Seperti pada saat
menghadapi kekecewaan-kekecewaan
yang kadang dapat
menggelisahkan batin dan
dapat membuat orang
putus asa. Disini agama berperan
mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
c.
Agama sebagai
pengendali moral, terutama
pada masyarakat yang
mengahadapi problematika etis, seperti perilaku seks bebas.
Akhlak tasawuf merupakan solusi
tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga
dan memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan. Intisari ajaran tasawuf adalah
bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga
seseorang merasa dengan kesadarannya iu brrada di hadiratNya. Tasawuf perlu
dikembangkan dan disosialisasikan kepada masyarakat dengan beberapa tujuan,
antara lain:
Menyelamatkan kemanusiaan
dari kebingungan dan
kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat kurangnya
nilai-nilai spiritual.
Memahami
tentang aspek asoteris Islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non
Muslim.
Menegaskan
kembali bahwa aspek asoteris Islam (tasawuf)adalah jantung ajaran Islam.
Tarikat atau jalan rohani (path
of soul) merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam Islam sebagaimana
syariat bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi
sumber kehidupan yang paling dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan
dalam Islam. Ajaran dalam tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk menghadapi
krisis-krisis dunia. Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan manusia
memiliki pegangan yang kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan
dirinya sepenuhnya pada Tuhan.Selanjutnya sikap frustasi dapat diatasi dengan
sikap ridla. Yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan.
Sikap materialistik dan hedonistik dapat diatasi dengan
menerapkan konsep zuhud.
Demikan pula ajaran
uzlah yang terdapat dalam tasawuf. Yaitu mengasingkan
diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan.
Ajaran-ajaran yang ada dalam
tasawuf perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu
dilandasi ajaran akhlak tasawuf.Mempelajari tasawuf membawa manfaat
yang sangat banyak
dalam kehidupan ini, baik secara individu, masyarakat, bangsa
dan negara. Para Suϔisangat menyadari betul akan siapa dirinya dan bagaimana
posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai
hawa nafsu mereka,
sehingga dengan demikian
segala apa yang
mereka lakukan selalu berada dalam koridor kepaTuhan, ketaatan dan
ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh keridhaan, kecintaan dan mereka pun
diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah mengundang mereka kesebuah
perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”(QS. AlFajr [89]: 27-30).
Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak sembarang orang tetapi yang
diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat (maqam) insan kamil(manusia
paripurna) yang didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
Tujuan akhir dari ajaran
tasawufadalah untuk mendekatkan diri seorang hamba kapada Allah sebagai
Khaliknya melalui riyadhahmelewati stasiun-stasiun atau maqamatmaqamattertentu,
dengan selalu mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan
diri menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan
Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila seseorang mengalami
kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi bahtera kehidupan
ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah silakan kembali kepada
agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan solusi
yang terbaik bagi
umatnya. Kehampaan spiritual
yang di alami
orangorang Barat, karena
disebabkan paradigma perdaban
yang mereka bangun
dari awal telah menyatakan adanya
pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya harus
saling bersinergi. Tasawuf
Islam tidak menaϐikan
sains, bahkan tasawuf Islam banyak menyumbangkan pemikiran
dalam bidang ϐilsafat, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modren.
Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan
membebaskan dari derita keterasingan, justru harus menjadikan Tuhan sebagai
tujuan akhir, Tuhan yang Maha Wujud dan Maha Absolut.
9.
Teladan
Sufi Nabi dan Sahabat
a.
Pengalaman
Sufi Nabi Muhamaad. Saw.
Dalam sejarah Islam, Muhammad saw. dikenal sebagai pioner yang
memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan berkembangnya khazanah
sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain. Kaum zuhâd atau kaum suϐi
sejak masa permulaan Islam dalam menjalani aktivitas suϐistik mereka selalu
merujuk pada Muhammad saw sebagai mursyid tertinggi dalam Islam. Bahkan, kaum
suϐi sendiri menganggap Nabi Muhammad saw. sebagai sosok manusia sempurna
(al-insân al-kâmil) sekaligus mursyid tertinggi yang harus dijadikan teladan
(uswah hasanah) dalam perjalanan suϐistik mereka menuju kepada
Yang Haq (Allah).
Itulah sebabnya, dalam
tulisan ini penulis
tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman suϐistik Muhammad saw.
dengan beragam macamnya itu dengan pendekatan
normative-historis.Keparipurnaannya sebagai seorang nabi telah tercermin
melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang terhimpun dalam
dirinya.
Pertama, kehormatan nasabnya dari suku Quraisy yang merupakan
keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda kenabian yang terdapat di antara
kedua pundaknya, penampakan wajah, dan bentuknya yang memancarkan sinar
kejujuran dan kenabiannya. Kedua, sifat
dan akhlaknya yang
terpuji; seperti sifat
kasih sayang, sabar,
rendah hati, dan jujur.
Ketiga, tanda-tanda kenabian
dan pengalaman suϐistik
tertinggi yang telah dialirkan
oleh Allah SWT
kepadanya, seperti benda-benda
padat bisa berbicara kepadanya, dapat menambah makanan
dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi adalah memperoleh
wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan Allah SWT.
Keempat, doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang
atau umatnya.
2.
Pengalaman
Khalwat di Gua Hira
Mendekati usia 40
tahun, mulailah tumbuh
pada diri Muhammad
saw kecenderungan untuk melakukan
uzlah (menjauhi pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad saw
menjelang dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan mengandung pelajaran
yang sangat besar dalam kehidupan yakni merasakan pengawasan Tuhan dan
merenungkan fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti
keagungan-Nya. Dari aktivitas uzlah ini, dapat diambil suatu pelajaran bahwa
setiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit yang tidak dapat dibersihkan
kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub, hasud, riya, dan cinta dunia
merupakan penyakit yang dapat menguasai jiwa, merusak hati nurani, sekalipun
secara lahiriah seseorang terlihat melakukan amal-amal saleh. Di samping itu,
dengan khalwat seseorang dapat sampai pada mahabbah (mencintai) kepada Allah
SWT. Tafakkur, perenungan, banyak mengingat keagungan Allah, nampaknya dapat
diwujudkan melalui cara khalwat. Khalwat ini sekaligus menjadi sarana untuk
menciptakan dorongan-dorongan spiritual di dalam hati; seperti rasa takut,
cinta, dan penuh harap, yang bisa menjadi motivasi kuat dalam keimanan maupun
keIslaman seseorang. Tetapi khalwat di sini bukan dipahami sebagai tindakan
meninggalkan sama sekali pergaulan sesama manusia dengan
hidup secara terasing.
Karena khalwat yang
dilakukan Muhammad saw bersifat
temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai pencarian obat untuk memperbaiki
keadaan.
a.
Kebenaran
Mimpi Nabi saw (ar ru’yâ as sâdiqah)
Mimpi yang benar
juga dipandang oleh
Nabi Muhammad saw
sebagai suatu peristiwa yang
dapat terjadi pada manusia muslim pada umumnya.
Bahkan, nabi Muhammad saw sendiri
memandang mimpi yang
benar merupakan bagian
dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT. kepada
orang muslim yang menerimanya
dan juga pengganti
dari sifat kenabian
yang telah dicabut setelah Nabi Muhammad
saw.Pengalaman sufistik ini
sama halnya dengan
pengalaman mimpi yang
dialami Nabi Ibrahim ketika
ia mendapat perintah
dari Allah SWT.
untuk mengorbankan putranya,
Ismail. Pengalaman sufistik
ini merupakan fenomena
umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar
hatinya tenang sebagai persiapan mentaluntuk mengalami pewahyuan dalam kondisi
sadar. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi
kepada pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman, orang (malaikat) yang telah saya
tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya ke dalam perutku sehingga aku
merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah
bercerita,“Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air
susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn
Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah yang kamu tafsirkan wahai
Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.
b.
Masalah
wahyu yang turun kepada Nabi Saw.
Nabi Muhammad saw,
dalam konteks ini,
telah mengalami pengalaman
pewahyuan dari Allah
SWT. melalui dua
bentuk; langsung dari
Allah Swt dan
melalui perantara malaikat Jibril. Pada cara yang pertama, Nabi saw
memperoleh pengalaman pewahyuan itu
dari Tuhan secara
langsung, tidak melalui
malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar di waktu tidur.
Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah SWT. yang
diterima dari balik hijab tanpa melalui perantara dan
dalam keadaan terjaga.
Wahyu model ini,
menurut ulama Islam,
terjadi pada Nabi Muhammad saw di malam isrâ’-mi’râj.
Contoh wahyu Allah SWT. yang diturunkan melalui malaikat Jibril
tatkala Nabi sedang bertahanuth di gua Hira dan memperoleh wahyu Al-Qur'an yang
pertama kali. Dalam pengalaman suϐistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil
menutupi keluasan cakrawala. Pengalaman suϐistik ini dapat dilihat dan didengar.
Malaikat itu memerintahkan Muhammad saw untuk melafalkan iqra’ yang dalam
bahasa Arab adalah bentuk kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya
“membaca” (untuk meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al-Qur'an
adalah Al-Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia. Selama dua puluh tiga
tahun sampai meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan
yang berat. Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan beliau sedang naik unta
atau naik kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan ϐirman
yang turun dari atas. Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Aku tidak pernah
menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan rohku karena ia sedang
dihilangkan dariku”.
c.
Pengalaman
Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu adalah perjalanan Nabi pada malam
hari naik ke langit untuk menghadap kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw secara
mukjizat dibawa dari Mekah ke Jerussalem dan dari sana melakukan mi’râj atau
naik ke seluruh tingkat sampai mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul
muntaha) bahkan jauh lagi di atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT, yang
digambarkan sebagai lingkungan “berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan
itu, ia menunggang kuda mistik; buraq dan didampingi oleh malaikat Jibril.
Al-Qur'an mengungkapkan perjalanan malam ini dengan mengatakan “Maha suci Allah
SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke
Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya
beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha
Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad saw yang demikian penting dan
terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh kualitas spiritual tertinggi
dan teladan bagi kedalaman kehidupan
beragama. “Malam kenaikan”
disejawatkan dengan “malam kekuasaan”,
karena Al-Qur'an juga
diwahyukan pada bagian
penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isrâ’ mi’râj itu,
secara suϐistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan
terpilihnya Muhammad saw oleh Allah
untuk mushâhadah dengan-Nya.
Bagi para sufi,
pengalaman itu merupakan pengalaman mistik paling agung dari
Nabi Muhammad saw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar